Masyarakat Gunungkidul, khususnya di Pedukuhan Mendak, Kalurahan Girisekar, Kapanewon Panggang, memiliki tradisi unik tahunan yakni membuka Cupu Panjala. Masyarakat meyakini hasil pembukaan cupu sebagai perkiraan yang akan terjadi satu tahun ke depan.
Ritual ini digelar di rumah generasi ke-6 pewaris Cupu Panjala, Dwijo Sumarto (81). Menurut Dwijo, ritual itu awalnya sebagai penanda masa bercocok tanam akan tiba.
"Awal mulanya itu benda (Cupu Panjala) yang dibuka. Dulu pertanda bercocok tanam kalau Jawa, mongso kapapat," ungkap Dwijo kepada detikJogja saat ditemui di rumahnya, Rabu (1/11/2023).
Ritual tersebut selalu dinanti oleh masyarakat karena akan muncul beberapa tanda berupa tanda maupun gambar. Dwijo mengatakan, bahkan masyarakat di luar Jogja pun ikut menantikannya.
"Dari manapun sudah banyak mengenal itu (Cupu Panjala), ada yang dari Jawa Timur juga," jelasnya.
Dalam ritual Cupu Panjala, Dwijo menjelaskan, dia menggunakan sesaji seperti nasi uduk dan ayam yang telah diolah. Ayam tersebut, kata Dwijo, akan diletakkan di atas nasi uduk itu.
"Ada sesaji, nasi uduk dan ayam. Dan ayam itu diletakkan di atas (nasi uduk)," katanya.
Prosesi ritualnya, Dwijo mengatakan, Cupu Panjala yang sudah dibungkus kain putih atau mori berukuran dua hingga tiga meter itu akan dibuka setelah disimpan selama setahun. Waktu pelaksanaannya, ujar Dwijo, yakni pada malam Selasa Kliwon biasanya jatuh pada Oktober.
"(Cupu Panjala) dibuka setahun sekali itu malam Selasa kliwon biasanya bulan Oktober (dibungkus menggunakan) kain putih seukuran pembungkus mayat entah 2 setengah atau 3 meter," paparnya.
Dwijo menyebutkan, ada tiga Cupu Panjala yakni Semar Tinandu yang berukuran besar, Palang Kinantang berukuran sedang, dan Kentiwiri yang paling kecil. Cupu itu, kata Dwijo, awalnya digunakan untuk memprediksi curah hujan.
"Tiga benda (Cupu Panjalu) itu untuk memprediksi curah hujan. Seperti Semar Kinandu itu hujannya lebat-lebat dan selanjutnya kekurangan air. Kalau yang berat itu nomor dua, petani di sini tidak kecewa karena tetap ada air selanjutnya. Kalau Kentiwiri yang lebih berat itu belum pernah," paparnya.
Saat ini, Dwijo mengungkapkan, banyak orang yang mengaitkan pertanda yang muncul dengan politik. Tanda tersebut, kata Dwijo, muncul di lembaran kain putih atau mori yang membungkus Cupu Panjala itu.
"Kalau zaman sekarang itu orang-orang dikaitkan dengan politik karena tanda di kain putih," jelasnya.
Dwijo mengatakan, pada pelaksanaan ritual Cupu Panjala, Senin (30/10) lalu muncul sejumlah tanda.
"Yang keluar itu kan banyak, tapi yang pertama kali itu ada pohon dan jagungnya tapi tidak ada daunnya. Terus ada lagi orang yang menghadap ke barat tapi tidak ada rambutnya. Ada perempuan yang pakai tanda itu di atas kepala sebagai penari. Ada garuda dan bintangnya ada tiga, itu ada," sebutnya.
Kendati demikian, Dwijo mengungkapkan, dirinya tidak boleh menafsirkan tanda-tanda yang muncul. "Saya tidak boleh menafsirkan karena mendahului Tuhan Yang Maha Kuasa,"
Dwijo menjelaskan, tidak ada syarat tertentu bagi orang yang ingin hadir pada ritual tersebut. Namun, Dwijo mengatakan, syarat hanya berlaku bagi orang yang memiliki hajat tertentu.
"Apabila kalau ada orang yang punya tujuan itu membawa kembang kemenyan atau bentuk infaq atau kancing gunung seikhlasnya," jelasnya.
Penulis: Muhammad Iqbal Al Fardi
0 komentar:
Posting Komentar